KAJIAN

Paradigma Islam Menghadapi Globalisasi

Pilihan Paradigma Islam Menghadapi Globalisasi

PADA mulanya agama-agama muncul dari unsur kebudayaan sebuah masyarakat sebagai bagian ritus transendental yang didominasi kekuatan mistis. Agama ini lahir dalam bentuk-bentuk yang plural sesuai dengan corak ekonomi sosial tiap-tiap masyarakat pada masanya. Meskipun tidak secara linier bentuk tersebut sesuai dengan kondisi transformasi sosioekonominya, setidaknya fakta telah menunjukkan bahwa agama pada era kini telah mengalami perubahan yang cukup signifikan dibandingkan awal kemunculannya. Perubahan nonlinier ini kemudian membentuk beragam kategori. Namun, secara general kualifikasinya hanya menjadi dua bentuk yang sekarang ada dalam umat Islam. Perspektif ini hampir berlaku pada setiap agama. Demikian pula dengan Islam yang berdiri di atas tiga pilar doktrin dasarnya (tauhid, syariat, dan akhlak), dalam perkembangannya mengalami perubahan bentuk aplikasi pemaknaan di kalangan umatnya.

Konservatif
Paradigma pertama, Islam diasumsikan sebagai agama yang memiliki doktrin dan ikatan-ikatan tradisi lama yang belum mau bersentuhan dengan wacana keilmuan selain Islam (baca, positivisme). Unsur-unsur sosial selain Islam dalam hal ini dianggap sebagai bagian yang senantiasa berlawanan bahkan mengancam. Dalam dimensi teologi, Tuhan menempati pokok segala kekuasaan yang telah diterjemahkan dalam kajian-kajian pendahulunya dengan peletakan unsur mazhab yang dianggap representatif. Tuhan dengan segala kekuasannya telah memberikan ukuran dan solusinya sesuai dengan ajaran yang tertulis. Bagi mereka menafsirkan ayat yang berkaitan dengan ketuhanan dengan metode baru adalah kesesatan. Demikian pula dalam bidang syariat yang menjadi pusat kajian hukumnya. Aspek hukum yang telah ada dalam kitab-kitab tersebut sudah menjadi final untuk dijadikan acuan hukumnya. Alasannya, hukum tersebut murni bersumber dari Alquran dan Alhadis. Oleh karenannya, tidak ada yang perlu disempurnakan lagi. Realitas sosial politik yang menandai kemunculan hukum-hukum tersebut nyaris tak mendapatkan tempat kajian yang mendalam.

Dalam kategori sosilogis Islam seperti di atas, menurut Dr. Ali Syariati (1933-1977), Islam hanya menjadi kumpulan-kumpulan dari tradisi asli dan kebiasaan masyarakat yang memperlihatkan suatu semangat kolektif suatu kelompoknya. Ia berisi kumpulan kepercayaan nenek moyang, perasaan individual, tata cara, ritual, aturan, kebiasaan, dan praktik-praktik dari suatu masyarakat yang telah mapan, berlangsung dari generasi ke generasi. Kebiassaan inilah yang biasanya dipelihara oleh penguasa politik untuk melegitimasi kekuasaan. Karena indoktrinasi menjadi bagian yang kuat dalam pemaknaan ajaran agama maka paradigma ini disebut konservatif.

Liberalis
Paradigma kedua, Islam diasumsikan sebagai agama yang dapat berperan menjadi agen perubahan sosial. Dalam pandangan itu, Islam bukanlah sekadar kumpulan ritus-ritus di atas, melainkan membentuk karakter sosial yang objektif/ilmiah. Hal ini sudah menjadi pengakuan luas seperti yang dikatakan Dr. Kuntowijoyo, “Objektivitas itu berupa adanya pengakuan akan pluralisme dalam agama, kebudayaan, bahasa, dan warna kulit. Tradisi keilmuan ini bermaksud mempertemukan agama-agama dengan menunjukkan moralitasnya yang objektif. Dalam pemikiran agama, periode ini menghendaki supaya Islam juga semakin objektif ke luar dan ke dalam.” (Republika, Agustus 2001). Dalam dimensi teologi paradigma ini mengedepankan aspek rasionalisme. Teologi bukan semata menjadi objek kajian bagaimana meyakinkan umat secara doktriner, melainkan sebagai pembimbing tindakan praksis sosial. Selain itu, teologi juga harus lepas dari paradigma kekuasaan negara, bahkan harus menjadi bagian transformasi sosial yang terus menyuarakan kepentingan mayoritas umat. Berkebalikan dengan teologi kaum konservatif yang gigih membela Tuhan, mereka justru menginginkan konsistensi menjelmakan nilai tauhid sebagai ajaran yang membebaskan umat dari penindasan kulturan dan struktural.

Dalam dimensi syariat paradigma ini mengambil hukum-hukum Islam dari aspek nilai/substansi bukan tekstual kitab kitab Islam lama yang di mapankan oleh kalangan konservatif. Alquran dan Hadis harus ditafsir ulang dengan pertimbangan ilmiah teoretis dalam pertimbangan praksis sosialnya. Karena pengaruh wacana ilmu positivis inilah dimensi akhlaknya tidak hanya sekadar berkaitan dengan persoalan etik religius yang tidak membumi melainkan menyentuh persoalan keadilan sosial. Karena paradigma ini mengambil sikap terbuka terhadap semua wacana keilmuan, disebutlah paradigma liberal. Dua paradigma di atas sesungguhnya telah menjadi bagian internal Islam di Indonesia. Paradigma pertama biasanya mengakar pada kalangan kelas bawah yang belum sepenuhnya tersentuh oleh tradisi keilmuan positivisme seperti di pesantren atau berakar kuat di kalangan ormas politik yang tidak berkepentingan pada perubahan (status quo). Sementara paradigma liberal lahir dari rahin generasi muda yang cukup paham terhadap wacana Islam. Namun, juga tersentuh oleh tradisi positivisme serta memiliki motifasi kuat untuk perubahan sosial. Namun, apakah perkembangan paradigma Islam ini akan hanya berhenti di sini? Inilah sesungguhnya yang harus kita kaji secara mendalam. Yang harus diingat adalah bahwa perubahan kajian ijtihad tersebut berlandaskan aspek perubahan sosial dan mengembalikan semangat pembelaan Islam terhadap umat manusia. Oleh karena itu, pilhan baru harus segera diadakan sebab situasi kekinian telah mengubah transformasi sosial dengan adanya globalisasi.

Islam Ideologis
Kalau Islam konservatif lahir dan hanya relevan berada dalam kondisi masyarakat agraris tradisional dan Islam liberal berada dalam situasi sosial industrial, apakah saat ini globalisasi (kapitalisme neoliberal) cukup disiasati dengan wacana liberal? Karena persoalannya adalah perubahan sosial, saya kira wacana Islam liberal harus diarahkan pada persoalan konkret situasi kontemporer saat ini. Kapitalisme global sebagai persoalan utama setidaknya telah menuntut perangkat sistem yang memihak kaum tertindas. Eksploitasi ekonomi melalui jalan ekspansi modal kenegara-negara berkembang yang terkena imbas krisis dengan kedok memberikan donor lewat IMF dan Bank Dunia adalah persoalan urgen yang menuntut perangkat sistem untuk menghentikan keserakahan kapitalisme baru itu. Isyarat Alquran, “Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara segelintir orang-orang kaya (pemodal) saja di antara kamu sekalian.” (Q.S. Alhasyr:7) telah menegaskan bahwa pembelaan terhadap upaya menciptakan keadilan ekonomi menjadi kebutuhan saat ini. Oleh karena itu, kebutuhan melakukan pembaruan wacana di kalangan umat Islam tidak boleh berhenti sebatas pembebasan pemikiran seperti yang dilakukan Jaringan Islam Liberal, melainkan harus bertendensi pada praksis sosial.

Lantas, bagaimana menyingkapai hal ini? Karena konteks persoalannya adalah kepentingan perubahan serta pembelaan sikap, mengambil wacana dari luar Islam bukanlah hal yang tabu dan terlarang. Islam dalam rangka menegakkan prinsip awalnya didasarkan nilai dan subtansial semangat perubahan, maka bukan suatu kenaifan bila mengambil sosialisme demokratik sebagai alternatif pembelaan terhadap kapitalisme neoliberal. Kenapa sosialisme demokratik? Alasannya, ideologi ini walaupun dianggap bangkrut pada tahun 1980-an, namun sesungguhnya masih meyimpan paradigma ekonomi politik yang komprehensif dalam rangka melakukan perlawanan terhadap kapitalisme dibanding dengan ideologi lainnya. Namun, apakah Islam tidak cukup memiliki basis ideologis untuk mengimbangi kapitalisme? Memang, Islam telah lengkap dan komprehensif. Namun, “kesempurnaan” Islam hanyalah sebatas dalam tataran teoretis. Pada tataran praksisnya — terutama ketika era globalisasi bergerak — Islam belumlah cukup memiliki konsepsi final dan pengalaman praktik perjuangan melawan hegemoni kapitalisme. Memang, Islam pada dasarnya adalah Islam. Tidak terkait dengan ideologi dan ajaran lain. Namun, dengan menyebut sosialisme-Islam justru kita sedang membenarkan kesejatian Islam yang memihak kaum tertindas.Jika hal ini serius kita kaji, secara otomatis persoalan wacana yang selama ini terkesan elitis dan hanya menjadi konsumsi kalangan akademis, sosialisme-Islam akan memberikan konstribusi bagi pencerahan dan aksi pembebasan umat sekaligus. Wallahu a’alam. (Faiz Manshur)***


Jawa-Pedalaman, Islam dan Ilmu Pengetahuan
Salah satu kajian ilmu sosiologi yang masih menarik diperhatikan ialah dikotomi antara budaya keagamaan di masyarakat pesisir berbanding keagamaan di masyarakat pedalaman. Sekalipun variable dikotomi untuk saat ini sayup-sayup mulai tergerus arus komunikasi dan informasi, -terutama terkait dengan dikotomi Pusat (Ibukota Jakarta ) berbanding daerah,- tetapi agaknya tetap masih relevan untuk menyimak tradisi kehidupan masyarakat muslim di pulau Jawa. 

Secara umum Islam yang mayoritas dipeluk masyarakat memang cukup kuat berakar dalam mayarakat Jawa. Artinya ideoligi kejawen sebenarnya sudah melapuk cukup lama. Tetapi sekalipun demikian, pada praktik praktik keseharian tetap mewarisi kosmologi kejawaan. Jelasnya, Jawa sebagai ideologi, atau sistem kepercayaan atau katakanlah Jawaisme sudah mengalami kepunahan, tetapi Jawa sebagai adat istiadat tetap bercokol kuat. Tak pernah runtuh oleh desakan Islam, Kristen atau modernisasi. 

Kultur pedesaan dengan ekonomi pertanian yang tak begitu maju. Di sini, agama memainkan peranan yang cukup dominan di masyarakat Kauman dan sekitarnya. Orang-orang butuh agama karena dengan itu mereka bisa menjawab berbagai persoalan. Agama akan selalu berperan di manapun jua. Kalaupun orang-orang Jawa tidak terlalu mementingkan agama formal yang sifatnya samawi, mereka tetap butuh “agama” dalam pengertian aliran kebatinan. Agama dibutuhkan oleh masyarakat karena ia lebih lengkap memberikan Jawaban ketimbang ideologi. 

Dalam ideologi masalah pencernaan perut paling-paling bisa dijelaskan dalam konteks kebutuhan makan. Tetapi dalam ilmu (kesehatan) masalah pencernaan juga meliputi kandungan nutrisi, gangguan lendir, gangguan angin sampai soal usus buntu. Di dalam ideologi masalah ekonomi sebatas soal bagaimana menyejahterakan rakyat agar terhindar dari kelaparan. Sementara dalam ilmu pengetahuan, ilmu ekonomi meliputi sejumlah kompleksitas yang lebih detial, misalnya ekonomi keluarga, ekonomi pedesaan atau ekonomi subsistem, termasuk ekonomi perdagangan dan diplomasi. Agama lebih komplit ketimbang ilmu pengetahuan. 

Dalam ilmu pengetahuan pijakan dasarnya adalah rasionalitas. Artinya setiap yang irasional tidak masuk wilayah ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan harus rasional karena dalam hal ini harus menjawab secara masuk akal. Masalahnya kemudian tidak setiap masalah selalu rasional. Ada banyak elemen kehidupan yang irasional, bahkan di jaman modern seperti sekarang ini. Agama tidak luntur di masyarakat modern atau pasca modern sekalipun karena persoalan hidup manusia akan selalu bergayut pada sampan irasionalitas. Agama akan berperan, sekalipun dalam peranan terbatas dengan artikulasi yang berlainan sepanjang kehidupan manusia masih ada. 

Umur agama itu sendiri sudah ada semenjak manusia lahir, sekalipun masih dalam bentuk kepercayaan-kepercayaan terbatas. Sedangkan ajaran agama dibentuk melalui pengalaman empiris umat manusia. Pengalaman empiris yang berhimpung sekian abad, sekian ribu tahun hingga saat ini terus berevolusi membentuk banyak aturan, nilai dan pandangan kehidupan setelah kematian. Di dalam himpunan tata nilai itulah agama lebih lengkap dalam memberikan jawaban dibanding ilmu pengetahuan atau ideologi yang sangat terbatas. Seorang Sosiolog, Arief Budiman (1996) pernah mengatakan, “agama akan mampu menjawab masalah-masalah yang tidak dipecahkan ideologi atau ilmu pengetahuan, sekalipun Jawabannya tidak tidak rasional. 

Ideologi, ilmu pengetahuan dan agama masing-masing berkembang sesuai dengan kondisi masyarakat. Corak perkembangan masyarakat terhadap ideologi tersebut sangat terkait dengan lingkungan sekitarnya. Dalam masyarakat perkotaan, yang lebih maju di banding masyarakat pedesaan, pemahaman akan ketiganya sangat berbeda. Masyarakat yang lebih maju akan menghayati agama lebih rasional, sedangkan masyarakat terbelakang terbelakang pula pemahamannya akan ilmu pengetahuan. Semakin rasional masyarakat, semakin pudar nilai keagamaan. Masyarakat modern kebanyakan akan lebih mempercayai ilmu pengetahuan ketimbang agama. 

Uraian ini memang tak melulu benar, sebab di dalam agama sendiri terdapat variable-variabel yang mengandung ilmu pengetahuan, ideologi, termasuk mitologi. Tetapi semakin kuat ilmu pengetahuan, semakin berkurang kecenderungan orang mempercayai agama, terutama dalam hal mitologinya. Kalaupun pada pasca tahun 2000 ini kita menyaksikan gairah keagamaan, tentu bukan agama dalam pengertian tradisional, melainkan corak yang lain, yakni agama politik, agama ilmu, termasuk agama teror. 

Agama pedesaan sarat dengan mitos. Setiap daerah memiliki perbedaan mitos sehingga agama itu sendiri terkontaminasi dengan unsur lokal setempat. Sebagian unsur lokal bisa beradaptasi dengan ajaran agama, sebagian tidak. Seorang tokoh agama yang menyebarkan ajarannya sangat penting memahami hal ini. Sedikit berlaku ekstrim dalam menyebarkan pemahaman, “barang dagangan” tak akan laku. Bagi pendakwah yang kompromi dan sabar dalam mengajarkan ilmu keagamaan ia akan diterima masyarakat, sedangkan yang vulgar dan reaksioner atas perilaku non agamis akan menjadi hantu yang menakutkan masyarakat sekitar. 

Di sini tampaknya memang penting memahami tentang apa itu yang disebut ‘kesadaran’. Seseorang mungkin mudah diberi ilmu pengetahuan dalam sebuah pertemuan, tetapi mewujudkan orang menjadi sadar adalah soal proses berliku. Kesadaran tak cukup dibangun dari sebuah institusi pendidikan, melainkan harus melalui pola hidup keseharian. Praktek pergaulan yang baik sangat menentukan kesuksesan seseorang di tengah-tengah masyarakat. 

Faktanya sangat jelas dari pengalaman empiris. Sama-sama belajar di suatu tempat tetapi tidak mendapat pelajaran dari lingkungan non akademis secara baik paling-paling seeorang hanya berubah sedikit pemikiran, sementara mereka yang bergaul luas dengan dunia kompleks akan terbangun kesadarannya ke arah yang lebih maju. Bagi kiai tradisional di Jawa, ilmu agama itu sendiri hanya akan bisa diterapkan dalam wilayah terbatas. Mereka menyadari tidak semua ilmu agama yang ia dapatkan dari pesantrennya selama ia nyantri akan bisa diajarkan di lingkungan masyarakat tempatnya berdakwah. 

Agama tak sesimple ilmu pengetahuan, melainkan memiliki dimensi yang lebih rumit; ajaran petunjuk praktis untuk laku, bertindak, praksis dan menggerakkan. Ada banyak kasus santri lulusan Universitas Ilmu Islam tetapi menjadi manusia kesepian setelah pulang kampung di desanya. Tak jarang mereka lebih memilih menjadi pegawai negeri yang peranannya terbatas, atau bisa jadi mereka menjadi orang biasa yang tidak memiliki nilai lebih di masyarakat karena laku dan komunikasinya dengan masyarakat desa tak berjalan baik. 

Sarjana agama rata-rata mahir dalam membedah ilmu keagamaan di banding lulusan pondok pesantren. Tetapi ilmu pengetahuan itu tiada berguna karena laku mereka tak bisa dijadikan contoh. Kiai diikuti masyarakat bukan karena ilmu dan laku. Ilmu pengetahuan saja tak cukup untuk menjawab kebutuhan masyarakat. Di masyarakat manapun, selalu saja penduduknya memiliki rasionalitas tersendiri, yang bahkan sangat empirisme untuk mengikuti pembaruan yang ditawarkan seseorang. 

Bagi masyarakat agama penting dan kemudian membentuk semacam “ideologi” dominan. Ia bukan sekadar dahaga saat manusia didera dehidrasi kehidupan sebagaimana orang-orang kota yang agak oportunis memperlakukan agama untuk kepentingan duniawi. Bagi orang desa, bagaimana pun juga agama adalah identitas. Seseorang bisa diakui keberdaannya di lingkungan sekitar jika ia memiliki identitas jelas. Tanpa identitas keagamaan ia akan terasing secara natural dari pergaulan. Orang-orang akan merasa canggung mengajak bergaul dalam banyak hal, khususnya yang berurusan dengan kegiatan keagamaan seperti hajatan kawinan, acara syukuran, doa kematian atau urusan lainnya. 

Orang Jawa secara umum, terkecuali kaum santri taat,-dikenal setengah hati dalam menjalankan agama. Ini sudah menjadi kenyataan yang tak terbantahkan. Tetapi menolak agama tetaplah sebagai suatu penyimpangan moral dan kejahatan sosial. Tetapi bagaimanapun pentingnya agama di masyarakat Jawa,-seperti Jawa pegunungan Manggung yang mewarisi sejarah panjang agama-agama non samawi seperti Hindu dan Buddha,- agama tetap tak mampu membentuk identitas tunggal di masyarakat. Wujud nyatanya terlihat jelas dalam hal politik. Sekalipun agamanya jelas Islam, kecenderungan politiknya tak melulu Islam. 

Orang desa yang mayoritas petani, dengan nalarnya sendiri memandang identitas dirinya sebagai muslim dan tidak wajib memilih Partai Islam. Tak heran di kalangan masyarakat ini pada masa silam orang-orang Islam sebagian ikut Partai Komunis, Murba, atau Partai Nasionalis. Di luar politik, orang-orang Islam juga tak merasa alergi dengan kesenian lokal. Bahkan sebagian kiai,- tidak termasuk tipikal Kiai Adnan,-tetap memanfaatkan unsur-unsur kesenian lokal sebagai bagian kehidupan keagamaannya. 

Dalam hal busana, keluarga santri taat merasa pas dengan ucapan assalamu’alaikum, tetapi bagi muslim lain lebih enak menyapa dengan ucapan kulo nuwun. Jilbab dikenakan secara ketat oleh keluarga santri perempuan, namun tidak menjadi persoalan bagi muslimah pada umumnya. Keluarga santri sendiri tak terlalu rewel dan harus berpesan agar orang-orang itu wajib memakai jilbab. 

Di sini, kesantunan dan sikap moderat kaum santri nampaknya dirasakan lebih nyaman untuk menjaga etika pergaulan dengan masyarakat sekitar. Sangat berbeda dengan kaum santri kota yang setiap kali ketemu orang selalu mendakwahi dengan ceramah-ceramah lisan hingga membuat orang yang diajak bicara merasa tak nyaman karena merasa digurui. (faizmanshur) 

Tidak ada komentar: